Menguatkan Kembali Filsafat Nusantara di Era Pasca-Pandemi

Senin (15/11) Laboratorium Filsafat Nusantara (Lafinus UGM) melaksanakan The 9th International Conference on Nusantara Philosophy dengan tema Local Wisdom and Post-Pandemic Era : Reformulating and Strategy. Acara ini diselenggarakan secara daring selama sehari ini mendatangkan narasumber dari berbagai  negara diantaranya Prof. Arndt Graf (Universitat Goethe Frankfurt am Main Germany), Prof. Zaid bin Ahmad (Univeristi Putra Malaysia), Fachrizal Halim, Ph.D (University of Saskatchewan Saskatoon Canada), Prof. Lasiyo, M.A., M.M (Universitas Gadjah Mada) dan Dr. Arqom Kuswanjono (Universitas Gadjah Mada).

Menurut laporan M Rodinal Khair, M.Phil selaku Ketua pelaksana, Konferensi tahun ini diikuti oleh 170 peserta dari dalam dan luar negeri, dan belasan presenter yang menyumbangkan paper yang dipresentasikan dalam diskusi kelompok dan nantinya akan dimuat di dalam prosiding ilmiah internasional. Sementara itu, Dr. Septiana Dwiputri Maharani Wakil Dekan Bidang Penelitian, Pengabdian dan Kerjasama yang membuka acara ini dengan menyampaikan betapa pentingnya kolaborasi keilmuan lintas disiplin dalam meghadapi era baru pada pasca-pandemi ini.  Septi mengingatkan adanya keterhubungan filsafat nusantara dan kearifan lokal dengan keilmuan lainnya. Oleh karenanya, konferensi ini diselenggarakan untuk memfasilitasi adanya diseminasi ilmu pengetahuan bagi seluruh kalangan masyarakat.

Dekan Fakultas Filsafat UGM Dr. Rr. Siti Murtiningsih sebagai pembicara kunci menyatakan bahwa saat ini sudah  waktunya bagi filsafat untuk bergerak maju melampaui dirinya dan menjadi sahabat bagi keilmuan lainnya. Dengan menjadi sahabat bagi lintas disiplin ilmu akan mampu menghadapi era pasca-pandemi.  Menurut Siti Murtingsih, Konferensi ini berada pada jalur yang tepat karena terdapat diseminasi ilmu pengetahuan dari berbagai ragam disiplin ilmu. Dengan kegiatan ini diharapkan akan menghasilkan keilmuan yang memiliki kekuatan secara teoritis maupun praksis yang nantinya akan menjadi bekal dalam menghadapi kehidupan pasca-pandemi.

Bentuk penguatan filsafat nusantara dapat dilakukan melalui eksplorasi nilai-nilai kearifan lokal bangsa yang dijumpai sebagai pandangan hidup masyarakat Indonesia. Hal ini diungkapkan oleh Dr. Arqom Kuswanjono dan Prof. Lasiyo dalam menyampaikan paparan bagaimana nilai-nilai budaya Jawa dapat dijadikan pandangan hidup masyarakat serta memiliki keberlakuan di tengah masyarakat. Keberlakuan nilai-nilai filsafat Jawa dalam kehidupan masyarakat akan menjadi kekuatan tersendiri bagi generasi bangsa dalam menghadapi era kedepan yang penuh akan ketidakpastian. Nilai-nilai filsafat dari budaya Jawa menjadi sumber penuntun bagi masyarakat dalam berpikir maupun bertindak dalam menghadapi segala macam bentuk dinamika sosial yang akan terjadi.

Memahami konsep kehidupan pasca-pandemi, tentu tidak akan jauh dari seputar pembahasan bio-politik. Hal ini disampaikan oleh Fachrizal Halim, Ph.D terkait bagaimana kehidupan kedepan harus mengedepankan partisipasi aktif dalam berbagai proyek kolektif guna mencapai tujuan kebaikan bersama. Fachrizal mengingatkan betapa pentingnya menciptakan ruang-ruang diskusi dalam kelas yang dapat memacu daya pikir untuk mendapatkan ide-ide, dan pemahaman terbaru terkait operasi biopolitik, serta ketidakseimbangan global supaya membangun minat baru dalam mendesign dunia yang damai dan adil.

Terkait konsep peradaban dan modernitas, Prof. Ardnt menjelaskan terdapat perbedaan penggunaan istilah “baru” dan “lama” yang dimulai sejak zaman kolonialisasi di Indonesia. Ardnt menyadari bahwa proses modernisasi, transformasi, dan pembaharuan yang terjadi pada bangsa ini berasal dari pemikiran tokoh bangsa Indonesia. Sejalan dengan hal ini, Prof. Zaid menutup konferensi dengan memberikan penegasan terkait peran kearifan lokal dan era pasca-pandemi akan membawa pada bentuk peradaban, pendidikan, dan pengetahuan yang baru. Oleh karenanya, dibutuhkan cara berpikir yang berbeda dalam menghadapi tantangan baru ini dengan segala bentuk problematika yang selalu berbeda pada setiap masanya. Dengan demikian, dibutuhkan ketahanan dan jaminan sosial sebagai bentuk solidaritas bersama untuk menghadapi era baru nantinya. (KP/HS).