“Ngono ya ngono ning aja ngono, aja menang-menangan; sithik eding ; aja rumungsa bisa ning bisaa rumangsa; kula panjenengan sami; yen ana rembug ya dirembug;aja dirende-rende nganti gedhe; abot entheng disangga bareng”
Mutiara hikmah falsafah hidup budaya Jawa tersebut menjadi bahan diskusi yang hangat dan menarik dalam acara “Sinau Bareng Bhinneka Tunggal Ika” bersama masyarakat Moyudan Sleman, 9 Juni 2021, yang menghadirkan narasumber Bapak Dewa Isnu Broto Imam Santoso, SH Plt. Kepala Badan Kesbangpol DIY dan Dr. Heri Santoso, Kepala Laboratorium Filsafat Nusantara UGM, dan dipandu moderator Drs. Arifin, M.Laws (Panewu/Camat Moyudan). Kegiatan ini menjadi hangat karena diskusi dilakukan dengan pembawaan yang santai dan diselingi beberapa kuis berhadiah. Model simulasi pendapat menjadi salah satu metode yang membuat diksusi ini berjalan santai, namun tetap interaktif. Peserta tidak hanya mendengarkan ceramah, namun turut aktif menggali masalah dan menawarkan berbagai solusi berdasarkan kapasitas dan pengalaman masing-masing. Hadir dalam kesempatan ini dan turut berkontribusi aktif AKP M. Darban (Kapolsek), unsur Koramil, Lurah dan Pamong Desa, tokoh ormas, pemuda serta tokoh masyarakat Kapanewon Moyudan Sleman.
Melalui diskusi terungkap bahwa memang ada beberapa masalah kecil terkait dengan kehidupan bersama di Moyudan, antara lain : masalah gesekan emosional antar supporter sepakbola, para pemuda yang suka duduk berkerumun di pinggir jalan yang meresahkan warga, kasus perselingkuhan, kasus sulitnya penegakan aturan penanganan pandemi Covid-19 di tengah masyarakat yang menyelenggarakan berbagai resepsi, kasus gesekan antar warga dengan pengembang perumahan, dll. Menurut AKP M. Darban, meskipun terdapatmasalah-masalah di atas, tetapi secara umum kawasan Moyudan relatif kondusif terkait keamanan, ketenteraman, dan kenyamanan hidup bersama. Berbagai persoalan dapat diatasi masyarakat bersama aparat dengan menerapkan prinsip “yen ana rembug, ya dirembug”, artinya jika ada suatu masalah yang harus dimusyawarahkan sebaiknya dimusyawarahkan, dan “aja dirende-rende nganti gedhe”, jangan ditunda-tunda sampai kasus membesar dan berlarut-larut. Kebanyakan masalah itu selesai dengan rembug warga dengan menghadirkan para pihak terkait, membuat kesepakatan, dan konsistensi melaksanakan kesepakatan tersebut.
Melihat berbagai persoalan yang menimbulkan ketegangan, kerenggangan, gesekan, konflik, bahkan tawuran di masyarakat, menurut Dr. Heri Santoso, biasanya akar masalah berawal dari keegoan atau keakuan yang terlalu ditonjolkan. Ke-aku-an ini dalam skala lebih luas menjadi keegoan kelompok yang mengedepankan ke-kami-an. Bila ke-ego-an ini terlalu mendominasi pribadi atau kelompok masyarakat dan tidak dikelola dengan baik, maka akan muncul kecenderungan melihat orang lain sebagai saingan, gangguan, bahkan ancaman. Inilah benih-benih keresahan hidup bersama di masyarakat. Sudah saatnya kita menghidupkan kembali semangat ke-kita-an dan mengurangi semangat ke-aku-an dan ke-kami-an.
Dari Sinau Bareng masyarakat Moyudan Sleman tersebut, Heri menyimpulkan bahwa sesungguhnya falsafah budaya Jawa yang masih hidup dan berkembang di masyarakat Jawa, khususnya masyarakat pedesaan, termasuk masyarakat Moyudan Sleman merupakan obat mujarab untuk mencegah dan mengatasi berbagai persoalan kerawanan sosial. Falsafah Jawa mengajarkan kepada kita dengan ungkapan sebagai berikut: “Ngono ya ngono ning aja ngono (begitu ya begitu, tetapi mbok jangan begitu, artinya kita ini memang bebas, namun jangan keterlaluan); aja menang-menangan (jangan ingin menang sendiri) ; sithik eding (kita harus ikhlas dan membiasakan untuk berbagi); aja rumungsa bisa ning bisa-a rumangsa (jangan merasa bisa dan menganggap diri paling hebat, tetapi seharusnya kita bisa merasa, artinya bisa merasakan apa yang dirasakan orang lain); “kula panjenengan sami” (saya dan anda sesungguhnya sama, sesama warga masyarakat, bangsa Indonesia, dan sesama hamba Tuhan); yen ana rembug ya dirembug (bila ada masalah, mari kita selesaikan dengan musyawarah); aja dirende-rende nganti gedhe (jangan ditunda-tundu, sampai masalahnya membesar); abot entheng disangga bareng” (berat ringan bila telah kita sepakati, harus kita tanggung bersama).
Falsafah hidup budaya Jawa tersebut menjadi bahan bakar dalam memunculkan semangat “ke-kita-an” yang telah mengakar kuat dalam sikap hidup yang berbhinekatunggalika. Bhinneka Tunggal Ika menjadi mudah dipahami karena menyatu dalam falsafah Jawa tersebut, guna mendukung dan menciptakan masyarakat yang selalu mengedepankan kebahagiaan hidup bersama, dalam bingkai persatuan.
(HS/DK/KP)