Tema diskusi bulanan (20/02/2018) kali ini adalah “Estetika Ontologis Bedoyo-Legong Calonarang Suatu Pengejawantahan Hermeneutika Gadamerian di Wilayah Penciptaan Seni Tari”. Bedoyo-Legong Calonarang merupakan karya seni tari kontemporer kolaborasi dua maestro tari tradisi Indonesia Retno Maruti dan Bulantrisna Djelantik, tari ini menyajikan bedoyo dan legong dalam satu ruang pertunjukan. Tema diskusi tersebut menjadi bagian dari disertasi Riana D. Sitharesmi. Pembahasan diskusi fokus pada 2 pertanyaan inti, pertama, Apa makna kehadiran Bedoyo-Legong Calonarang menurut perspektif hermeneutika Gadamer?, kedua, Bagaimana hermeneutika Gadamer mengejawantah di dalam proses penciptaan Bedoyo-Legong Calonarang?. Menurut Riana, Bedoyo-Legong Calonarang melalui hermeneutika Gadamer merupakan suatu “kendaraan” sekaligus “ruang” di mana di dalamnya entitas yang saling berbeda berkolaborasi mengupayakan wujud karya seni tersebut. Memahami yang berarti mengaplikasikan (subtilitas applicandi) terwujud di dalam kerja kolaboratif para kreator Bedoyo-Legong Calonarang, ujarnya. Peleburan horizon pengetahuan masa lampau (tradisi, legong, bedoyo dan cerita Calonarang) dengan horizon pengetahuan masa kini, menghadirkan produksi makna baru. Makna baru tersebut berupa nilai-nilai estetis yang sudah tentu berbeda dengan dimensi estetis bawaan masing-masing substansi pembentuknya (bedoyo dan legong). Riana menambahkan bahwa di ruang hermeneutis Gadamer menyediakan setiap kemungkinan peleburan horizon-horizon yang membangun dan menjaga dialog dalam suasana “persahabatan”. Di dalam ruang hermeneutis inilah suatu harmoni dapat dihadirkan tidak melulu berupa sebuah sintesa, tetapi lebih kepada suatu upaya merawat perbedaan dan kontras-kontras untuk tidak saling berseberangan, tidak saling mematikan atau menentang satu sama lain.
Arsip:
Recent Comments