Awal tahun 2021 ini, Lafinus Filsafat UGM mengeluarkan program terbaru yakni sebuah diskusi tematik yang diharapkan mampu membawa tema-tema menarik untuk menambah khazanah keilmuan filsafat nusantara. Pada tanggal 29 Januari 2021 Lafinus UGM menyelenggarakan diskusi tematik#1 terkait “Benar-Salah & Baik-Buruk dalam Filsafat Melayu, Sasak, dan Bugis”. Diskusi menghadirkan narasumber Dr. Rizal Mustansyir (Dosen Fakultas Filsafat UGM), Dr. Andi M Akhmar (Dosen FIB UNHAS), dan M Rodinal Khair Khasri, M.Phil (Peneliti Lafinus Filsafat UGM), dan Dr. Daryono (Rektor Uniwara Pasuruan) sebagai pembahas. Diskusi diawali pengantar oleh Dr. Arqom Kuswanjono dan dimoderatori oleh Dr. Heri Santoso (Ka. Lafinus UGM). Diskusi daring dihadiri oleh 50an peserta dari seluruh penjuru nusantara.
Dr. Arqom Kuswanjono mengibaratkan Nusantara ini ibarat seperti “lautan data”yang sangat menarik untuk dikaji dan tidak akan ada habisnya. Tema benar-salah dan baik-buruk yang sedang dikaji ini, merupakan langkah awal Lafinus Filsafat UGM untuk mengkaji dari perspektif Filsafat Melayu, Sasak dan Bugis. Selain tema-tema di atas, sesunguhnya Nusantara memiki kekayaan budaya yang luar biasa, baik berupa bahasa, tari, adat istiadat, alat pertanian, dll. Ironisnya, selama ini eksplorasi budaya Nusantara ini justru banyak dilakukan oleh para peneliti asing, sehingga kita “hanya” menjadi objek kajian. Pertanyaannya kapan kita akan menjadi subjek, bukan sekedar objek kajian. Kalau bukan kita siapa lagi, kalau tidak sekarang kapan lagi.
Konsep baik-buruk dan benar salah dalam Filsafat Bugis menurut Dr. Andi M. Akhmar data digali dari ajaran hidup masyarakat Bugis, dalam hal ini dicontohkan hasil kajian atas komunitas To-Cerekang di Kab. Luwu Timur. Dr. Andi M Akhmar menunjukkan ajaran tentang kebaikan itu terlihat dalam ajaran hidup antara lain : Paqdaung raung kkaju (meribunkan pepohonan), Pabbija olokoloq (mengembang-biakkan ternak), Mapato llao pole sangiang serri (Meningkatnya hasil panen), Malampe sungeq (memiliki harapan hidup yang yang lebih panjang), Jagai Pangalle sibawa saloe ‘menjaga hutan dan sungai,’ Lempu (jujur), ada tongeng (berkata benar), getteng (keteguhan), dan sipakatu (saling memanusiakan). Dalam komunitas Bugis To-Cerekang ini, konsep kebenaran dan kebaikan merupakan hal yang tidak dapat dilepaskan, indikasi dari keduanya adalah kemanfaatan.
Sementara itu, konsep benar-salah dan baik-buruk dalam perspektif Filsafat Sasak menurut M Rodinal Khair Khasri, M.Phil dapat digali dari berbagai sumber antara lain: naskah lontar misalnya Kotaragama (yang berisi ajaran tentang jati diri masyarakat Sasak), ungkapan dalam komunikasi sehari-hari dan interaksi dalam adat istiadat, dari bait pantun-pantun atau “lelakaq” atau “lawas”, “perteke”atau petuah para orang tua, “waran” atau “tauran” yaitu dongeng-dongeng tradisional, dan “sesenggak” atau perumpamaan-perumpamaan. Berdasarkan sumber-sumber tersebut, Rodhinal menunjukkan contoh tentang prinsip-prinsip hidup yang dijunjung tinggi masyarakat Sasak, yaitu prinsip kejujuran dan kesetiaan dalam memegang janji (Danta, Danti, Kusuma, dan Warsa), prinsip kepemimpinan, prinsip kebersamaan dan gotong royong, serta prinsip dalam menegakkan ajaran agama.
Menurut Dr. Rizal Mustansyir, cakupan budaya Melayu itu sangat luas, maka yang dipaparkannya dibatasi pada Melayu Riau di Sumatera dan Melayu Sambas di Kalimantan. Konsep benar-salah, baik buruk tidak dapat dilepaskan dari Weltanschauung budaya Melayu yang tidak dapat dilepaskan dari adat istiadat dan pengaruh agama Islam. Konsep “Benar-Salah” merupakan pembahasan dimensi epistemologis yang terkait dengan percaya atau tidak; adat dan keimanan yang dipelihara. Sementara konsep “baik-buruk” merupakan dimensi aksiologis yang terkait dengan perilaku, norma pergaulan, dan sopan-santun. Berdasarkan kajian Dr Rizal, konsep benar-salah & baik-buruk dalam masyarakat Melayu dipadukan dalam kedudukan manusia yang tahu alur dan tahu patut. Artinya orang dikatakan benar apabila dia tahu alur, dan dikatakan baik apabila tahu patut, demikian pula sebaliknya. Sehingga kriteria “benar-salah” dan “baik-buruk” dalam bahasa Melayu memiliki banyakvariasi sehingga bersifat kontekstual.
Setelah menyimak paparan dari para narasumber, Dr. Daryono,M.Pd, Rektor Universitas PGRI Wiranegara Pasuruhan menyimpulkan bahwa konsep baik-buruk & benar-salah merupakan aspek dalam kehidupan masyarakat yang bersifat universal, namun memiliki sumber dan standart yang bervariasi, sebagaimana dicontohkan dari Filsafat Bugis, Sasak dan Melayu. Standar norma baik-buruk & benar-salah ini diturun-wariskan antar generasi melalui proses pendidikan (in formal, non formal, formal) dalam bentuk pendidikan budi pekerti. Tantangannya adalah ada indikasi bahwa pendidikan kita lebih banyak menghasilkan orang pintar (yang cenderung jahat) jika dibandingkan orang pintar (yang cenderung baik).
Pendidikan saat ini cenderung hanya mengajar, mendidik, dan melatih, tetapi tidak memberi contoh dan perenungan, inilah tantangan besar yang harus dihadapi dan diatasi dalam konteks mengangkat kembali konsep benar-salah dan baik-buruk dalam Filsafat Nusantara, terutama dalam dunia pendidikan. (Kus/HS/Dela)