Laboratorium Filsafat Nusantara Fakultas Filsafat UGM menyelenggarakan Webinar diskusi bulanan pada Kamis, (11/06) “Filosofi Humor Nusantara” Mendongkrak Kekebalan, Membongkar Kebebalan yang disampaikan oleh Achmad Charris Zubair, seorang Budayawan dari Yogyakarta, Farid Mustofa Dosen Filsafat UGM dan dimoderatori oleh Heri Santoso selaku Kepala Lafinus UGM. Sebanyak 140 partisipan yang bergabung merupakan, mahasiswa, dosen, maupun masyarakat umum dari Sabang hingga Merauke. Kegiatan ini bertujuan untuk memahami makna filosofi yang terdapat dalam sebuah humor, karena selama ini kita memahami humor tanpa memahami arti. Banyaknya fenomena hmor yang tidak mendidik menjadi salah satu tantangan, selama ini di media humor menjadi salah satu tontonan masyarakat, namun humor yang ditampilkan tidak jarang sebuah humor yang menertawakan orang lain yang memiliki kekurangan dalam hal fisik ataupun latar belakang seseorang. Misalnya ada sebuah humor yang berisi tentang seseorang yang sedang menertawakan sebuah orang yang betubuh kecil maka menunjukkan sense of humor yg rendah amat sangat rendah” tutur Achmad Charris dan tidak layak untuk dijadikan sebuah konteks humor. Tertawa dan menangis merupakan bagian dasar dari reaksi menerima sebuah realitas serta pengalaman spiritual dalam diri seseorang. Sense of humor yg memiliki kualiatas menunjukkan karakter diri seseorang. Terdapat beberapa humor yaitu homor sengaja dan humor tidak disengaja, jenis humor yg disengaja yaitu merupakan humor yg cukup efektif memancing tawa. Lelucon yg muncul karena adanya kecacatan. Masyarakat indonesia merupakan masyarakat yang memiliki selera humor tinggi sehingga jangan sampai menertawakan sesuatu yang tidak layak. Humor dapat dijadikan sebagai sarana untuk meningkatkan kekebalan dan meningkatkan keecerdasann masyarajat indonesia. Humor tertinggi manakala dapat menertawakan diri sendiri.
Filosofi humor ini hadir untuk menunjukkan kepada kita semua bahwa dimensi tertawa yang dikaitkan pada kebahagiaan hendaknya terjadi pula pada tragedi yang terjadi dalam hidup ini. layaknya seorang sufi, tingkatan tertinggi dalam humor ialah ketika kita dapat menertawakan diri sendiri disaat keadaan terhimpit, sulit, dan berpikir seolah tak ada harapan untuk mendapati jalan keluar atas permasalahan hidup yang terus bergulir. Humor dan tragedi keduanya adalah sama, karena sama-sama mengundang air mata dan mengantarkan manusia untuk mendapati pemaknaan bahwa hidup bukan hanya berbicara tentang kesedihan yang tak berkesudahan tapi ada kebahagiaan yang seharusnya diupayakan seperti membentuk sense of humor dalam setiap tragedi hidup. Humor yang tersalurkan dalam tawa merupakan bukti bahwa manusia adalah mahluk yang tangguh dalam menyikapi kehidupan ini t saat keadaan tersulit pun.
Humor itu universal, tidak mengenal dimensi kelas sosial, suku, ras, agama, dan tentunya tidak dibatasi oleh ruang dan waktu karena sifatnya yang relasional dan kontekstual. Maka “Berbahagialah dalam kondisi apapun untuk menghilangkan kebebalan hidup ini”