Selasa, 30 Agustus 2022 Laboratorium Filsafat Nusantara (LAFINUS) UGM memfasilitasi Launcing film dan diskusi “Derap Dayak” yang diproduksi oleh tim Dibalik Bingkai. Diskusi yang ramai dan berkesan ini membuat peserta haru dan mereflesikan realitas yang terjadi di tanah Dayak Kalimantan. Hadir sebagai pemantik diskusi Dr. Heri Santoso (Kepala Lafinus UGM), Muslicha, M.A. (Tim Dibalik Bingkai), Adhan Ramadhan (Mahasiswa Kalimantan Timur), dan dihadiri langsung oleh Produser dari film Derap Dayak Dwi Nur Rizkiyansah.
Film documenter ini menunjukkan realitas yang terjadi pada masyarakat Dayak di Kalimantan Timur di tengah hiruk pikuk pembangunan Ibu Kota RI Nusantara. Suku Dayak menghadapi persoalan besar. Pesan penting dalam film documenter ini adalah apa yang dirasakan oleh tokoh-tokoh adat Dayak yang merupakan representasi dari masyarakatnya tentang tanah dan budaya leluhurnya di tengah arus modernisasi, industrialisasi dan globalisasi. Ada pesan yang cukup menyayat hati, yaitu masyarakat Dayak serasa kurang menikmati proyek-proyek pembangunan selama ini.
Adhan Ramadhan, sebagai representasi mahasiswa asal Kalimantan Timur mengungkapkan bahwa dengan melihat film “Derap Dayak” ini membangkitkan memorinya di masa-masa kecil. Hidupnya di Kalimantan identik dengan himpitan dan serba kekurangan. Dia mengilustrasikan kampong yang ditinggalkannya beberapa tahun ke Jogya, ternyata tidak banyak perubahan. Sementara kalau dia meninggalkan Jogja beberapa saat saja, sudah banyak terjadi perubahan. Artinya perkembangan kampungnya begitu lamban jika dibandingkan dengan tempat lain, terutama di pulau Jawa. Hal yang menggelisahkan Adhan adalah dia melihat dengan mata kepala sendiri begitu banyak kekayaan alam di sekitarnya tetapi masyarakatnya tidak merasakan kemanfaatan dari kekayaan alam yang diambil dan ditambang itu.
Dr. Heri Santoso sangat mengapresiasi idealisme dan kepedulian para aktor di belakang layar yang telah berhasil melahirkan film dokumenter Derap Dayak ini. Para pembuat film ini diapresiasi memiliki kepekaan dan kepedulian yang tinggi, sekaligus keinginan menyuarakan suara hati yang terhimpit dan terpinggirkan dalam proses pembangunan di negerinya. Heri menilai, kecepatan pengembangan infrakstruktur fisik pembangunan khususnya pembangunan calon ibu kota negera, yang tidak diimbangi dengan kecepatan pembangunan infrastruktur sosial-budaya akan sangat berbahaya di masa depan. Bila hal ini tidak mendapat perhatian dan penanganan serius, dikhawatirkan dapat terjadi tsunami sosial yang mengerikan.
Sementara itu penggagas dan inisiator film dokumenter ini, Icha (panggilan akrab Muslicha) mengatakan bahwa publikasi tentang Kalimantan Timur terutama calon Ibu Kota Negara begitu marak, namun dia penasaran bagaimana nasib kaum Dayak, suku asli daerah yang akan dijadikan ibu kota negara tersebut. Dia penasaran dan ingin menelusuri lebih jauh melalui tokoh-tokoh adat Dayak dalam suatu wawancara yang diabadikan dalam film dokumenter ini. Hal yang paling mengesankannya adalah tokoh adat Dayak yang tampil tegar, kuat dan bahkan terkesan garang tersebut, ternyata ketika diwawancarai menyatakan betapa tidak berdayanya masyarakat Dayak menghadapi dinamika jaman ini.
Para peserta diskusi mengapresiasi film dokumenter ini, karena dianggap mampu menyuarakan hati masyarakat Dayak sebagai bagian dari masyarakat Indonesia yang kurang dapat menikmati hasil-hasil kekayaan tanah leluhurnya. (KP, HS, DKA)
Recent Comments